Awal Abad Pertengahan
Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.
Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.
Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.
Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.
Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.
Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.
Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.
Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.
Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.
Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.
Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.
Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.
Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.
Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.
Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.
Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.
Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.
Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.
Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.
Terminologi dan periodisasi
Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.[1]
Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi beberapa kurun waktu, misalnya "Enam Zaman" atau "Empat Kekaisaran", dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat.[2] Bilamana mengulas zaman hidup mereka, maka zaman itu akan mereka sebut sebagai "zaman modern".[3] Pada dasawarsa 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).[4] Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan pembabakan tripartitus (pembabakan tiga penggal) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442).[5] Leonardo Bruni dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan oleh karena itu menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka. Istilah "Abad Pertengahan" pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan).[6] Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604,[7] dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625.[8] Istilah "Abad Pertengahan" adalah terjemahan dari frasa medium aevum.[9] pembabakan tripartitus menjadi pembabakan standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.[8]
Tarikh yang paling umum digunakan sebagai tarikh permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M,[10] yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni.[5][A] Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan,[12] akan tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung pada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.[13] Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan.[14] Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).[15] Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu "Tinggi" sebagai kurun waktu yang "terdahulu", dan kurun waktu "Rendah" sebagai kurun waktu yang "terkemudian". Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu "Awal", kurun waktu "Puncak", dan kurun waktu "Akhir".[1] Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki "Abad Kegelapan",[16][B] tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.[2]
Sengketa dalam Gereja
Pada abad ke-14 yang penuh pergolakan, sengketa kepemimpinan Gereja mengakibatkan lembaga kepausan berpindah ke Avignon sejak 1309 sampai 1376.[295] Kurun waktu keberadaan lembaga kepausan di Avignon ini disebut pula masa "pembuangan Babel lembaga kepausan" (mengacu pada masa pembuangan Babel yang dialami umat Yahudi).[296] Sengketa ini juga menyebabkan terjadinya Skisma Akbar Gereja Barat, yang berlangsung dari 1378 sampai 1418, manakala muncul dua dan kemudian tiga orang paus yang menjabat pada waktu yang bersamaan, masing-masing didukung oleh sejumlah negara.[297] Para wali gereja bersidang dalam Konsili Konstanz pada 1414, dan pada tahun berikutnya memutuskan untuk memakzulkan salah seorang dari ketiga paus. Pemakzulan terus berlanjut dan pada bulan November 1417, para peserta konsili akhirnya memilih Kardinal Oddone Colonna menjadi Paus Martinus V (menjabat 1417–1431).[298]
Selain skisma, Gereja Barat juga mengalami perpecahan akibat kontroversi teologi, beberapa di antaranya berubah menjadi gerakan bidah. Yohanes Wycliffe (wafat 1384), seorang teolog Inggris, dikutuk sebagai ahli bidah pada 1415 karena mengajarkan bahwa umat awam harus diberi keleluasaan untuk membaca sendiri nas-nas Kitab Suci, juga karena pandangannya mengenai Ekaristi bertentangan dengan doktrin Gereja.[299] Ajaran-ajaran Yohanes Wycliffe mempengaruhi dua gerakan bidah besar pada Akhir Abad Pertengahan, yakni bidah Lolardi di Inggris dan bidah Husité di Bohemia.[300] Gerakan bidah di Bohemia dipicu oleh ajaran Yohanes Hus, yang dibakar hidup-hidup pada 1415 setelah dipidana mati sebagai ahli bidah oleh Konsili Konstanz. Meskipun sempat menjadi sasaran penyerbuan dalam Perang Salib, jemaat Husite sanggup bertahan melewati Abad Pertengahan.[301] Bidah-bidah lain hanyalah hasil rekayasa, misalnya dakwaan sebagai ahli bidah terhadap para Kesatria Haikal yang mengakibatkan tarekat mereka dibubarkan pada 1312, dan harta kekayaan mereka yang besar dibagi-bagi di antara Raja Prancis, Philippe IV (memerintah 1285–1314), dan para Kesatria Pramuhusada.[302]
Lembaga kepausan terus memoles dan memperhalus tata cara perayaan Misa pada Akhir Abad Pertengahan, dengan menetapkan bahwa hanya rohaniwan yang boleh meminum anggur Ekaristi. Ketentuan ini semakin memperlebar jarak antara umat awam sekuler dan kaum rohaniwan. Umat awam masih terus mengamalkan kebiasaan berziarah, penghormatan relikui, dan keyakinan akan adanya kekuatan Iblis. Tokoh-tokoh kebatinan seperti Meister Eckhart (wafat 1327) dan Tomas a Kempis (wafat 1471) menghasilkan karya-karya tulis yang berisi taklimat bagi umat awam untuk memusatkan perhatian pada kehidupan rohaninya masing-masing. Karya-karya tulis ini menjadi landasan bagi gerakan Reformasi Protestan. Selain ajaran-ajaran kebatinan, keyakinan akan tukang sihir dan ilmu sihir juga kian meluas. Pada penghujung abad ke-15, Gereja malah turut memperbesar ketakutan masyarakat akan ilmu sihir dengan mengeluarkan pernyataan mengutuk tukang sihir pada 1484, dan pada 1486, menerbitkan Malleus Maleficarum (Penggodam Tukang Sihir), buku panduan populer bagi para pemburu tukang sihir.[303]
Puncak Abad Pertengahan
Retaknya Kekaisaran Karoling
Karel Agung berniat meneruskan adat waris Franka dengan membagi wilayah kerajaannya kepada seluruh ahli warisnya, akan tetapi niatnya itu tidak terkabul karena hanya tinggal Ludwig Saleh (memerintah 814–840) yang masih hidup pada 813. Sebelum mangkat pada 814, Karel Agung menobatkan Ludwig menjadi penggantinya. Masa pemerintahan Ludwig sepanjang 26 tahun ditandai beberapa kali pembagi-bagian wilayah Kekaisaran Karoling di antara putra-putranya dan, setelah 829, pecah beberapa kali perang saudara memperebutkan kekuasaan atas berbagai bagian wilayah Kekaisaran Karoling. Selama berlangsungnya perang-perang saudara ini, Ludwig bersekutu dengan salah seorang putranya untuk melawan putranya yang lain. Ludwig akhirnya mengakui putra sulungnya yang bernama Lothar I (wafat 855) sebagai kaisar dan menyerahkan wilayah Italia kepadanya. Ludwig membagi wilayah kekaisaran selebihnya kepada Lothar dan Karel Gundul (wafat 877), putra bungsunya. Lothar menguasai Negeri Franka Timur yang terletak di kedua tepi Sungai Rhein dan membentang sampai ke sebelah timur, sementara Karel menguasai Negeri Franka Barat beserta wilayah kekaisaran di sebelah barat daerah Rheinland dan Pegunungan Alpen. Ludwig Jerman (wafat 876), anak tengah Karel yang tak kunjung jera memberontak, diizinkan menguasai daerah Bayern di bawah suzerenitas abangnya. Pembagian wilayah ini malah menimbulkan pertikaian. Cucu kaisar yang bernama Pipin II dari Aquitania (wafat sesudah 864), bangkit memberontak hendak mengusai Aquitania, sementara Ludwig Jerman berusaha menguasai seluruh Negeri Franka Timur. Ludwig Saleh mangkat pada 840, meninggalkan Kekaisaran Karoling dalam keadaan kacau balau.[109]
Perang saudara selama tiga tahun pun berkecamuk setelah Ludwig Saleh mangkat. Dengan Perjanjian Verdun (843), diciptakan sebuah kerajaan baru bagi Lothar yang terletak di antara Sungai Rhein dan Sungai Rhone sebagai tambahan bagi wilayah Italia yang dikuasainya. Selain itu, Lothar juga diakui sebagai Kaisar. Ludwig Jerman menguasai Bayern dan daerah-daerah di kawasan timur Negeri Franka yang sekarang termasuk dalam wilayah negara Jerman. Karel Gundul mendapatkan daerah-daerah di kawasan barat Negeri Franka yang meliputi hampir seluruh wilayah negara Prancis sekarang ini.[109] Cucu-cucu dan cicit-cicit Karel Agung membagi-bagi lagi wilayah kerajaan-kerajaan mereka kepada anak cucu mereka, sehingga keutuhan wilayah Kekaisaran Karoling pada akhirnya sirna.[110][M] Pada 987, wangsa Karoling tersingkir dari tampuk kekuasaan di Negeri Franka Barat, manakala Hugo Capet (memerintah 987–996) dinobatkan menjadi raja.[N][O] Di Negeri Franka Timur, wangsa Karoling telah punah manakala Raja Ludwig Bocah mangkat pada 911,[113] dan Konrad I (memerintah 911–918), yang tidak memiliki pertalian apa-apa dengan wangsa Karoling, terpilih menjadi raja.[114]
Perpecahan Kekaisaran Karoling terjadi bersamaan dengan invasi, migrasi, dan penyerangan oleh seteru dari luar. Kawasan pantai Samudra Atlantik dan pesisir utara dirongrong oleh orang Viking, yang juga menyerbu serta mendiami Kepulauan Britania dan Islandia. Pada 911, Kepala Suku Viking yang bernama Rollo (wafat sekitar 931) mendapatkan izin dari Raja Orang Franka, Karel Polos (memerintah 898–922) untuk bermukim di daerah yang kini bernama Normandie di negara Prancis.[115][P] Kawasan timur Negeri Franka, khususnya Jerman dan Italia, terus-menerus dirongrong oleh orang Magyar yang baru dapat dikalahkan dalam Pertempuran Lechfeld pada 955.[117] Perpecahan Khilafah Bani Abbas mengakibatkan Dunia Islam terpecah-belah menjadi banyak negara kecil, beberapa di antaranya mulai berusaha meluaskan wilayah kedaulatan sampai ke Italia, Sisilia, dan melewati Pegunungan Pirenia sampai ke kawasan selatan Negeri Franka.[118]
Penghujung Zaman Kekaisaran Romawi
Luas wilayah Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya pada abad ke-2 Masehi; dalam dua abad berikutnya, Kekaisaran Romawi lambat laun kehilangan kendali atas daerah-daerah di tapal batas wilayahnya.[18] Permasalahan-permasalahan ekonomi, termasuk inflasi, dan tekanan asing di tapal batas wilayah kekaisaran adalah penyebab timbulnya krisis pada abad ke-3. Selama masa krisis ini, kaisar demi kaisar dinobatkan hanya untuk dimakzulkan dengan segera oleh perampas takhta berikutnya.[19] Belanja militer terus meningkat sepanjang abad ke-3, terutama untuk membiayai perang melawan Kekaisaran Sasani yang kembali berkobar pada pertengahan abad ke-3.[20] Bala tentara dilipatgandakan, dan pasukan aswasada serta satuan-satuan ketentaraan yang lebih kecil mengambil alih fungsi legiun Romawi sebagai satuan taktis utama.[21] Kebutuhan akan pendapatan mengakibatkan kenaikan pajak dan penurunan jumlah curialis, atau golongan tuan-tuan tanah, serta penurunan jumlah tuan-tuan tanah yang bersedia memikul beban selaku pejabat di kota asalnya.[20] Meningkatnya kebutuhan akan tenaga birokrat dalam administrasi pemerintah pusat untuk menangani kebutuhan-kebutuhan tentara mengakibatkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat bahwasanya jumlah pemungut pajak di dalam wilayah kekaisaran lebih besar daripada jumlah pembayar pajak.[21]
Pada 286, Kaisar Dioklesianus (memerintah 284–305) membagi wilayah kekaisaran menjadi wilayah timur dan wilayah barat, masing-masing dengan administrasi pemerintahan sendiri; Kekaisaran Romawi tidak dianggap telah terbagi dua, baik oleh rakyat maupun penguasanya, karena keputusan-keputusan hukum dan administrasi yang dikeluarkan oleh salah satu wilayah juga dianggap sah oleh wilayah yang lain.[22][C] Pada 330, setelah masa perang saudara berakhir, Konstantinus Agung (memerintah 306–337) membangun kembali kota Bizantium sebagai ibu kota wilayah timur yang baru, dan menamainya Konstantinopel.[23] Upaya-upaya pembaharuan yang dilakukan Kaisar Dioklesianus berhasil memperkukuh birokrasi pemerintahan, menata ulang sistem perpajakan, dan memperkuat angkatan bersenjata. Langkah ini berhasil menyelamatkan kekaisaran tetapi tidak menuntaskan masalah-masalah yang dihadapinya, antara lain pajak yang terlampau tinggi, penurunan angka kelahiran, dan rongrongan bangsa-bangsa asing di tapal batas wilayah.[24] Perang saudara antarkaisar menjadi hal yang lumrah pada pertengahan abad ke-4. Perang-perang saudara ini menguras kekuatan angkatan bersenjata yang menjaga tapal batas wilayah sehingga memudahkan para bangsa-bangsa asing menerobos masuk ke dalam wilayah kekaisaran.[25] Hampir sepanjang abad ke-4, masyarakat Romawi menjadi terbiasa hidup dalam suatu tatanan baru yang berbeda dari tatanan kemasyarakatan Romawi pada Abad Kuno, dengan melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, serta meredupnya gairah hidup kota-kota kecil.[26] Perkembangan baru lainnya adalah penyebaran Kristen, atau peralihan keyakinan warga kekaisaran ke agama Kristen, suatu proses yang berjalan sedikit demi sedikit sejak abad ke-2 sampai abad ke-5.[27][28]
Pada 376, orang Goth yang sedang meluputkan diri dari kejaran orang Hun, mendapatkan izin dari Kaisar Valens (memerintah 364–378) untuk menetap di Provinsi Trakia (bahasa Latin: Provincia Thracia), wilayah Kekaisaran Romawi di Jazirah Balkan. Proses pemasyarakatan orang Goth di Provinsi Trakia tidak berjalan mulus, dan manakala para pejabat Romawi mengambil tindakan yang keliru, orang-orang Goth mulai melancarkan aksi-aksi penyerbuan dan penjarahan.[D] Kaisar Valens, yang berusaha meredakan kekacauan, gugur dalam Pertempuran Adrianopel melawan orang Goth pada 9 Agustus 378.[30] Selain ancaman-ancaman dari konfederasi-konfederasi kesukuan semacam itu yang mendesak dari utara, Kekaisaran Romawi juga harus menghadapi masalah-masalah yang diakibatkan oleh perpecahan di dalam negeri, khususnya perpecahan di kalangan umat Kristen.[31] Pada 400, orang Visigoth menginvasi Kekaisaran Romawi Barat, dan meskipun sempat terpukul mundur dari Italia, akhirnya berhasil menduduki dan menjarah kota Roma pada 410.[32] Pada 406, orang Alan, orang Vandal, dan orang Suevi memasuki Galia; selama tiga tahun berikutnya mereka menyebar ke seluruh pelosok Galia, melintasi Pegunungan Pirenia, dan masuk ke wilayah yang kini menjadi negeri Spanyol pada 409.[33] Zaman Migrasi bermula ketika berbagai suku bangsa, mula-mula sebagian besar adalah suku-suku Jermanik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Eropa. Orang Franka, orang Alemani, dan orang Burgundi pindah dan bermukim di kawasan utara Galia; orang Angli, orang Saksen, dan orang Yuti menetap di Britania;[34] sementara orang Vandal menyeberangi Selat Gibraltar dan mendaulat Provinsi Afrika (bahasa Latin: Provincia Africa).[35] Pada dasawarsa 430-an, orang Hun mulai menginvasi Kekaisaran Romawi; Raja orang Hun, Attila (memerintah 434–453), memimpin invasi-invasi ke Jazirah Balkan pada 442 dan 447, ke Galia pada 451, dan ke Italia pada 452.[36] Ancaman orang Hun terus membayang-bayangi Kekaisaran Romawi sampai konfederasi suku-suku Hun pecah kongsi sepeninggal Attila wafat pada 453.[37] Invasi-invasi yang dilancarkan suku-suku asing ini sepenuhnya merombak tatanan politik dan kemasyarakatan di Kekaisaran Romawi Barat pada masa itu.[34]
Menjelang akhir abad ke-5, wilayah barat Kekaisaran Romawi sudah terpecah menjadi banyak negara kecil, masing-masing dikuasai oleh suku yang menginvasinya pada permulaan abad itu.[38] Pemakzulan kaisar wilayah barat yang terakhir, Romulus Agustulus, pada 476 sudah lama dijadikan tonggak sejarah yang menandai tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi Barat.[11][E] Pada 493, Jazirah Italia ditaklukkan oleh orang Ostrogoth.[39] Kekaisaran Romawi Timur, yang kerap disebut Kekaisaran Romawi Timur setelah tumbangnya pemerintah wilayah barat, tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan kembali kedaulatannya atas daerah-daerah wilayah barat yang sudah lepas dari genggamannya. Para Kaisar Romawi Timur tetap mendaku sebagai penguasa atas daerah-daerah itu, tetapi kendati tak seorang pun dari raja-raja baru di wilayah barat berani meninggikan diri menjadi kaisar wilayah barat, kendali Romawi Timur atas sebagian besar wilayah barat Kekaisaran Romawi tidak dapat dipertahankan; penaklukan kembali daerah-daerah di sepanjang pesisir Laut Tengah dan di Jazirah Italia (Perang Goth) pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565) adalah satu-satunya pengecualian, meskipun tidak bertahan lama.[40]
Arsitektur, seni rupa, dan seni musik
Pada abad ke-10, pembangunan gedung-gedung gereja dan biara mendorong munculnya arsitektur bangunan batu yang merupakan hasil pengembangan lebih lanjut terhadap bentuk-bentuk bangunan batu ala Romawi, sehingga dinamakan langgam arsitektur "Romanik". Jika kebetulan ada, gedung-gedung bata dan batu peninggalan Romawi dibongkar agar material bangunannya dapat digunakan kembali dalam pembangunan gedung-gedung baru. Bermula dari tahap coba-coba permulaan yang dikenal dengan sebutan Romanik Perdana, langgam arsitektur berkembang dan menyebar ke seluruh Eropa dalam bentuk yang seragam. Tepat sebelum tahun 1000, terjadi gelombang besar pembangunan gedung-gedung gereja batu di seluruh Eropa.[239] Gedung-gedung berlanggam Romanik memiliki dinding yang tersusun dari batu-batu berukuran raksasa, lubang-lubang pintu dan jendela dengan ambang yang melengkung membentuk setengah lingkaran, tingkap-tingkap berukuran kecil, dan (khususnya di Prancis) lengkungan langit-langit dari susunan batu.[240] Pintu-pintu masuk berukuran besar berbingkai pahatan relief tinggi yang diwarnai menjadi salah satu tampilan utama pada muka bangunan (façade), teristimewa di Prancis. Ganja-ganja tiangnya sering kali dihiasi ukiran monster-monster dan satwa-satwa khayali.[241] Menurut sejarawan seni rupa, C. R. Dodwell, "nyaris semua gedung gereja di Dunia Barat dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding", hanya sedikit di antaranya yang masih ada sampai sekarang.[242] Bersamaan dengan perkembangan di bidang arsitektur gedung gereja, bentuk bangunan puri yang khas Eropa juga dikembangkan, dan menjadi sangat penting artinya bagi percaturan politik dan peperangan.[243]
Seni rupa langgam Romanik, khususnya di bidang kriya logam, mencapai tahap kecanggihan tertingginya dalam seni rupa langgam Maas, yang memunculkan seniman-seniman dengan ciri khas tersendiri, antara lain Nikolaus dari Verdun (wafat 1205), dan menghasilkan karya-karya seni yang nyaris tampak berlanggam klasik seperti bejana baptis di Liège,[244] jauh berbeda dari sosok-sosok hewan menggeliat pada Kandil Gloucester yang juga dibuat pada kurun waktu yang sama. Alkitab dan buku Mazmur beriluminasi berukuran besar adalah naskah-naskah mewah yang lazim dibuat kala itu, dan lukisan dinding menyemarakkan gedung-gedung gereja, sering kali mengikuti kaidah yang menempatkan lukisan bertema Penghakiman Akhir pada dinding barat, Maiestas Domini pada dinding timur, dan penggambaran kisah-kisah Alkitab di sepanjang dinding pada kedua sisi panti umat, atau pada lengkungan langit-langit memanjang seperti di Saint-Savin-sur-Gartempe, yang merupakan contoh terindah dari lukisan pada lengkungan langit-langit bangunan yang masih lestari hingga sekarang.[245]
Semenjak permulaan abad ke-12, tukang-tukang bangunan Prancis mengembangkan langgam Gothik, yang bercirikan pemakaian lengkungan langit-langit berusuk, pelengkung yang mengerucut, penopang-penopang layang, dan jendela-jendela kaca patri berukuran besar. Langgam ini lebih banyak digunakan dalam pembangunan gedung-gedung gereja dan gereja katedral, serta terus-menerus digunakan sampai dengan abad ke-16 di banyak tempat di Eropa. Contoh-contoh klasik dari arsitektur berlanggam Gothik antara lain adalah gedung gereja katedral Chartres dan gedung gereja katedral Reims di Prancis, serta gedung gereja katedral Salisbury di Inggris.[246] Kaca patri menjadi unsur penting dalam rancang bangun gedung gereja, yang masih terus menggunakan lukisan-lukisan dinding, tetapi dewasa ini hampir semuanya sudah musnah.[247]
Pada kurun waktu ini, kegiatan pembuatan naskah beriluminasi beralih dari biara-biara ke sanggar-sanggar milik umat awam, sampai-sampai menurut Janetta Benton "pada tahun 1300, kebanyakan rahib membeli buku di toko-toko".[248] Pada kurun waktu ini pula buku ibadat harian dikembangkan menjadi buku panduan beribadat bagi umat awam. Kriya logam masih tetap menjadi wujud karya seni yang paling bergengsi, dan email Limoges menjadi bahan dengan harga yang relatif terjangkau dan banyak sekali dipakai dalam pembuatan benda-benda seperti relikuarium dan salib..[249] Di Italia, inovasi-inovasi Cimabue dan Duccio di Buoninsegna, dan kemudian hari juga inovasi-inovasi dari maestro era Trecento, Giotto di Bondone (wafat 1337), kian mempercanggih dan mengentaskan lukisan panel dan fresko.[250] Meningkatnya kemakmuran pada abad ke-12 mendorong peningkatan produksi karya-karya seni rupa sekuler; banyak barang ukiran gading seperti peranti permainan (buah catur, dadu, dan sebagainya), sisir-sisir, dan patung-patung keagamaan berukuran kecil masih terlestarikan sampai sekarang.[251]
Reformasi biara menjadi isu penting pada abad ke-11, manakala para penguasa mulai khawatir kalau-kalau para rahib tidak mengamalkan aturan-aturan yang mewajibkan mereka untuk semata-mata menekuni kehidupan zuhud. Biara Cluny yang dibangun di daerah Mâcon, Prancis, pada tahun 909, adalah pelopor gerakan Reformasi Cluny, yakni gerakan reformasi biara berskala besar yang muncul sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran kalangan penguasa.[253] Biara Cluny dengan segera tersohor sebagai biara yang sangat bersahaja dan sangat ketat dalam menjalankan tata tertib. Biara ini berusaha menjaga mutu kehidupan rohani yang tinggi dengan berlindung kepada lembaga kepausan, dan dengan memilih sendiri kepala biaranya tanpa campur tangan umat awam, sehingga dapat terus mandiri secara ekonomi maupun politik, terhindar dari campur tangan tuan-tuan besar setempat.[254]
Reformasi biara mengilhami usaha-usaha pembaharuan Gereja di luar lingkungan biara. Cita-cita luhur yang melandasi gerakan reformasi biara dibawa ke tataran lembaga kepausan oleh Paus Leo IX (menjabat 1049–1054), dan menjadi sumber ideologi kemandirian kaum rohaniwan yang berujung pada Kontroversi Investitur pada akhir abad ke-11. Kontroversi ini melibatkan Paus Gregorius VII (menjabat 1073–1085) dan Kaisar Heinrich IV, yang mula-mula mempersengketakan kewenangan mengangkat uskup. Sengketa ini berubah menjadi pertarungan gagasan terkait investitur (pengangkatan), pernikahan kaum rohaniwan, dan simoni. Kaisar menganggap urusan melindungi Gereja sudah menjadi tanggung jawabnya, dan hendak mempertahankan haknya untuk memilih sendiri uskup-uskup yang menjabat di dalam wilayah kedaulatannya, sementara lembaga kepausan dengan gigih memperjuangkan kebebasan Gereja dari campur tangan penguasa sekuler. Isu-isu ini tidak kunjung tuntas meskipun telah dicapai kompromi pada tahun 1122 yang dikenal dengan sebutan Konkordat Worms. Sengketa ini merupakan salah satu tahap penting dalam pembentukan monarki kepausan yang terpisah sekaligus setara dengan pemerintahan-pemerintahan awam. Sengketa ini juga meninggalkan dampak permanen, yakni kian kukuhnya kekuasaan para kepala swapraja Jerman sehingga merugikan kaisar-kaisar Jerman.[253]
Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya gerakan-gerakan agamawi berskala besar. Selain ikut serta dalam Perang Salib dan gerakan reformasi biara, orang juga berusaha mencari bentuk-bentuk amalan zuhud yang baru. Tarekat-tarekat baru didirikan, antara lain tarekat Sistersien dan tarekat Kartusian. Tarekat Sistersien menyebar dengan pesat pada tahun-tahun permulaan keberadaannya di bawah bimbingan Bernardus dari Clairvaux (wafat 1153). Tarekat-tarekat baru ini didirikan untuk menanggapi pandangan umat awam yang merasa cara hidup zuhud ala Benediktin tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan umat awam. Sebagaimana orang-orang yang hendak menjalani hidup zuhud, umat awam juga ingin kembali pada cara hidup zuhud eremitis (cara hidup pertapa) yang diamalkan dalam Gereja Perdana, atau mengamalkan cara hidup para rasul.[211] Kegiatan ziarah juga digairahkan. Tempat-tempat ziarah lama seperti Roma, Yerusalem, dan Compostela mengalami lonjakan peziarah, dan tempat-tempat ziarah baru seperti Monte Gargano dan Bari kian dikenal orang.[255]
Pada abad ke-13, tarekat-tarekat fakir—Fransiskan dan Dominikan—yang mengikrarkan kaul kemiskinan dan menafkahi diri mereka dengan cara mengemis, mendapatkan persetujuan dari lembaga kepausan.[256] Kelompok-kelompok keagamaan seperti kaum Waldenses dan kaum Humiliati juga berusaha mengamalkan kembali cara hidup umat Kristen perdana pada pertengahan abad ke-12 dan permulaan abad ke-13, tetapi dikecam sebagai gerakan bidat oleh lembaga kepausan. Kelompok-kelompok keagamaan lainnya bergabung dengan kaum Katari, gerakan bidah lain yang juga dikecam oleh lembaga kepausan. Pada 1209, sebuah Perang Salib dimaklumkan terhadap kaum Katari, yakni Perang Salib Albigensian. Perang Salib ini digabungkan dengan inkuisisi Abad Pertengahan, dan berhasil memberantas kaum Katari.[257]
Perkembangan teknologi dan militer
Salah satu perkembangan besar di bidang militer pada Akhir Abad Pertengahan adalah meningkatnya pengerahan pasukan pejalan kaki dan pasukan aswasada berperlengkapan ringan.[312] Orang-orang Inggris juga mengerahkan pasukan pemanah bersenjata busur panjang, tetapi negeri-negeri lain tidak mampu membentuk pasukan serupa dengan tingkat keberhasilan yang sama.[313] Baju zirah terus-menerus dikembangkan, dipacu oleh peningkatan daya hujam anak panah yang dilesatkan dengan busur silang, sehingga akhirnya menghasilkan zirah lempeng yang berguna melindungi para prajurit dari tembakan busur silang maupun senjata api genggam yang kala itu sudah diciptakan.[314] Senjata-senjata galah kembali menjadi senjata andalan dengan dibentuknya pasukan-pasukan pejalan kaki Flandria dan Swiss yang dipersenjatai dengan tembiang dan tombak-tombak bergagang panjang lainnya.[315]
Di bidang tani-ternak, meningkatnya budi daya domba berbulu panjang memungkinkan dihasilkannya pintalan benang wol yang lebih alot. Selain itu, penggunaan rahat sebagai pengganti luli dan gelendong untuk mengantih membuat hasil pintalan benang wol meningkat hingga tiga kali lipat.[316][AH] Salah satu wujud penyempurnaan ciptaan manusia yang kurang berkaitan dengan teknologi tetapi besar dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari adalah penggunaan kancing untuk merapatkan pakaian. Dengan menggunakan kancing, orang tidak perlu lagi merapatkan pakaian pada tubuh si pemakai dengan cara mengencangkan tali yang diloloskan melalui lubang-lubang tali atau kaitan yang terpasang pada pakaian (serupa dengan cara mengencangkan dan mengikat tali sepatu).[318] Kincir angin disempurnakan menjadi kincir menara. Bagian puncak dari kincir menara ini dapat diputar, sehingga kitiran yang terpasang pada bagian puncak itu dapat diatur menghadap hembusan angin dari arah manapun datangnya.[319] Penggunaan tanur embus, yang muncul sekitar tahun 1350 di Swedia, meningkatkan jumlah dan mutu besi yang dihasilkan dari kegiatan peleburan bijih besi.[320] Hukum paten pertama kali diundangkan pada 1447 di Venesia untuk melindungi hak-hak para pereka cipta atas barang-barang ciptaan mereka.[321]
Munculnya kekuasaan negara
Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu formatif dalam sejarah negara modern di Dunia Barat. Raja-raja di Prancis, Inggris, dan Spanyol memperkukuh kekuatan mereka, dan membentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang terus bertahan dalam waktu yang sangat lama.[181] Kerajaan-kerajaan baru, seperti Hungaria dan Polandia, menjadi kekuatan-kekuatan utama di kawasan tengah Eropa setelah menerima agama Kristen.[182] Orang Magyar menetap di Hungaria sekitar tahun 900 di bawah pimpinan Raja Árpád (wafat sekitar 907) setelah beberapa kali melancarkan invasi pada abad ke-9.[183] Lembaga kepausan, yang sudah lama terpikat pada ideologi kemerdekaan dari raja-raja sekuler, untuk pertama kali dalam sejarahnya menyatakan diri sebagai penguasa duniawi atas seluruh Dunia Kristen. Monarki kepausan mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-13 di bawah kepemimpinan Paus Inosensius III (menjabat 1198–1216).[184] Perang Salib Utara dan pergerakan kerajaan-kerajaan dan tarekat-tarekat militer Kristen ke daerah-daerah pagan di kawasan Laut Baltik dan kawasan timur laut Finlandia mengakibatkan terjadinya asimilasi paksa sejumlah besar suku bangsa pribumi setempat ke dalam kebudayaan Eropa.[185]
Pada permulaan kurun waktu Puncak Abad Pertengahan, Jerman berada di bawah pemerintahan wangsa Otto yang bersusah payah berusaha mengendalikan adipati-adipati yang sangat berkuasa di negeri itu, yakni para penguasa wilayah-wilayah kesukuan yang terbentuk pada Zaman Migrasi. Pada 1024, wangsa Otto digantikan oleh wangsa Sali, yang terkenal pernah bertikai dengan lembaga kepausan pada masa pemerintahan Kaisar Heinrich IV (memerintah 1084–1105) sehubungan dengan kewenangan Sri Paus untuk mengangkat petinggi Gereja. Pertikaian seputar kewenangan mengangkat petinggi gereja ini disebut Kontroversi Investitur.[186] Kaisar-kaisar penggantinya masih harus berjuang keras menghadapi lembaga kepausan maupun kaum ningrat Jerman. Sepeninggal Kaisar Heinrich V yang mangkat tanpa meninggalkan ahli waris, Jerman memasuki kurun waktu instabilitas yang baru berakhir setelah Friedrich Barbarossa (memerintah 1155–1190) naik takhta.[187] Meskipun Friedrich Barbarossa memerintah secara efektif, permasalahan-permasalahan hakiki belum juga tuntas, sehingga kaisar-kaisar penggantinya pun masih harus berjuang keras sampai dengan abad ke-13.[188] Cucu Friedrich Barbarossa, Friedrich II (memerintah 1220–1250), yang juga mewarisi takhta Kerajaan Sisilia melalui garis nasab ibunya, berulang kali bertikai dengan lembaga kepausan. Majelis istananya terkenal beranggotakan kaum cerdik pandai, dan ia sendiri acap kali dituduh sebagai seorang ahli bidah.[189] Friedrich II maupun kaisar-kaisar penggantinya harus berjuang menanggulangi berbagai macam kesulitan, antara lain invasi bangsa Mongol ke Eropa pada pertengahan abad ke-13. Bangsa Mongol mula-mula meluluhlantakkan kepangeranan-kepangeranan Rus' Kiev, dan selanjutnya menginvasi kawasan timur Eropa pada tahun 1241, 1259, dan 1287.[190]
Di bawah pemerintahan raja-raja wangsa Capet, monarki Prancis sedikit demi sedikit menundukkan kaum ningrat. Dari daerah Île-de-France, raja-raja wangsa Capet perlahan-lahan meluaskan kekuasaannya ke daerah-daerah lain di wilayah Prancis pada abad ke-11 dan ke-12.[191] Saingan terberat raja-raja wangsa Capet adalah para Adipati Normandia. Pada 1066, Adipati Normandia, Guillaume II atau William Sang Penakluk (menjabat 1035–1087), berhasil menaklukkan Inggris (memerintah selaku Raja Inggris 1066–1087) dan membangun sebuah kekaisaran lintas selat yang mampu bertahan dalam berbagai bentuknya sepanjang sisa kurun waktu Abad Pertengahan.[192][193] Orang Norman juga mendiami Sisilia dan kawasan selatan Italia, semenjak Robert Guiscard (wafat 1085) mendarat di pulau itu pada 1059 dan mendirikan sebuah kadipaten yang menjadi cikal bakal Kerajaan Sisilia.[194] Pada masa pemerintahan raja-raja Inggris dari wangsa Anjou, terutama Raja Henry II (memerintah 1154–1189) dan putranya, Raja Richard I (memerintah 1189–99), raja-raja Inggris memerintah atas wilayah Inggris dan daerah yang luas di wilayah Prancis.[195][V] Sebagian besar dari daerah kekuasaan di wilayah Prancis ini menjadi milik pusaka wangsa Anjou semenjak Raja Henry II menikahi Aliénor, Adipati Putri Aquitania (wafat 1204), ahli waris atas sebagian besar daerah di kawasan selatan Prancis.[197][W] Kadipaten Normandia dan daerah-daerah kekuasaan Inggris di kawasan utara Prancis jatuh ke tangah Raja Prancis, Philippe Auguste (memerintah 1180–1223), pada masa pemerintahan adik dari Raja Richard I, Raja John (memerintah 1199–1216). Hilangnya daerah kekuasaan ini menimbulkan perselisihan di kalangan bangsawan Inggris, sementara pungutan paksa yang diberlakukan Raja John guna mendanai usahanya yang gagal untuk merebut kembali wilayah Normandia berbuntut pada penandatanganan Magna Carta (piagam agung) tahun 1215 yang mengukuhkan hak-hak dan keistimewaan warga merdeka di Inggris. Pada masa pemerintahan putra Raja John, Raja Henry III (memerintah 1216–1272), semakin banyak keleluasaan dianugerahkan kepada kaum bangsawan sehingga mengakibatkan merosotnya kuasa kerajaan.[198] Monarki Prancis melanjutkan usahanya untuk menundukkan kaum ningrat pada penghujung abad ke-12 sampai abad ke-13, sehingga luas kawasan yang diperintah secara langsung oleh raja semakin bertambah, dan pemerintahan Kerajaan Prancis menjadi semakin terpusat.[199] Pada masa pemerintahan Raja Louis IX (memerintah 1226–1270), muruah raja semakin meningkat manakala Raja Prancis menjadi tokoh penengah yang disegani oleh hampir seluruh penguasa di Eropa.[200][X]
Di Jazirah Iberia, negara-negara Kristen yang terpinggirkan ke kawasan barat laut jazirah mulai berbalik menekan negara-negara Islam di kawasan selatan jazirah pada kurun waktu yang dikenal dengan sebutan Reconquista (penaklukan kembali).[202] Sekitar tahun 1150, masyarakat Kristen di kawasan utara jazirah telah bersatu membentuk lima kerajaan besar, yakni Kerajaan León, Kerajaan Kastila, Kerajaan Aragon, Kerajaan Navara, dan Kerajaan Portugal.[203] Kawasan selatan Jazirah Iberia masih dikuasai negara-negara Islam merdeka yang disebut taifa, pecahan dari Khilafah Kordoba (bahasa Arab: خلافة قرطبة, Khilāfat Qurṭuba) yang runtuh pada 1031.[202] Negara-negara Islam ini berperang melawan negara-negara Kristen sampai Khilafah Almohad (bahasa Arab: خلافة الموحدون, Khilāfatul Muwaḥḥidūn) menegakkan kembali pemerintahan Islam yang terpusat di kawasan selatan jazirah pada dasawarsa 1170-an.[204] Bala tentara Kristen sekali lagi maju memerangi kaum Muslim pada permulaan abad ke-13. Perang melawan kaum Muslim ini mencapai puncaknya pada peristiwa penaklukan kota Sevilla tahun 1248.[205]
Pada abad ke-11, orang Turki Seljuk merebut sebagian besar wilayah Timur Tengah, menduduki Persia pada dasawarsa 1040-an, Armenia pada dasawarsa 1060-an, dan Yerusalem pada tahun 1070. Pada 1071, bala tentara Turki mengalahkan bala tentara Romawi Timur dalam Pertempuran Manzikert, bahkan berhasil menawan Kaisar Romawi Timur, Romanos IV (memerintah 1068–1071), sehingga orang Turki akhirnya dapat leluasa menginvasi Asia Kecil. Pendudukan Asia Kecil oleh orang Turki merupakan pukulan berat bagi Kekaisaran Romawi Timur, karena harus kehilangan sebagian besar warganya sekaligus pusat kekuatan perekonomiannya. Meskipun mampu kembali menyatukan barisan dan memulihkan kekuatan tempurnya, Kekaisaran Romawi Timur tidak pernah sanggup merebut kembali seluruh Asia Kecil dan sering kali menjadi pihak yang harus bertahan digempur musuh. Bangsa Turki juga menghadapi kesulitan, Yerusalem yang sudah berhasil mereka kuasai akhirnya jatuh ke tangan kaum Fatimiyun dari Mesir, dan didera serangkaian perang saudara.[207] Kekaisaran Romawi Timur juga harus menghadapi bangsa Bulgaria yang kembali bangkit dan menyebar ke seluruh Jazirah Balkan pada penghujung abad ke 12 sampai abad ke 13.[208]
Perang Salib bertujuan merebut Yerusalem dari penguasaan kaum Muslim. Perang Salib Pertama dimaklumkan oleh Paus Urbanus II (menjabat 1088-1099) dalam Konsili Clermont pada 1095 sebagai tanggapan terhadap permintaan bantuan yang diajukan Kaisar Romawi Timur, Aleksios Komnenos (memerintah 1081–1118) untuk membendung laju pergerakan kaum Muslim. Paus Urbanus menjanjikan anugerah indulgensi bagi siapa saja yang ikut serta. Berlaksa-laksa orang dari seluruh lapisan masyarakat berdatangan dari seluruh pelosok Eropa dan merebut Yerusalem pada 1099.[209] Salah satu aksi yang menjadi bagian dari Perang Salib adalah pogrom (aksi pembinasaan) terhadap orang-orang Yahudi Eropa yang sering kali dilakukan pada saat bala Tentara Salib bergerak meninggalkan tanah airnya menuju Dunia Timur. Aksi semacam ini berlangsung sangat brutal, terutama pada masa Perang Salib Pertama,[76] manakala paguyuban-paguyuban umat Yahudi di Köln, Mainz, dan Worms dibinasakan, dan paguyuban-paguyuban umat Yahudi di kota-kota yang terletak di antara Sungai Seine dan Sungai Rhein didera kehancuran.[210] Dampak lain dari Perang Salib adalah terbentuknya tarekat-tarekat zuhud jenis baru, yakni Tarekat Ketentaraan Haikal (bahasa Latin: Ordo Militum Templariorum) dan Tarekat Panti Husada (bahasa Latin: Ordo Hospitalis), yang memadukan cara hidup zuhud dan darmabakti keprajuritan.[211]
Bala Tentara Salib mendirikan negara-negara Tentara Salib di daerah-daerah taklukan mereka. Pada abad ke-12 dan ke-13, timbul serangkaian konflik di antara negara-negara ini dan negara-negara Islam di sekitarnya. Permohonan bantuan yang diajukan negara-negara Tentara Salib kepada lembaga kepausan menghasilkan pemakluman perang-perang Salib berikutnya,[209] misalnya pemakluman Perang Salib Ketiga untuk merebut kembali Yerusalem yang telah jatuh ke tangan Sultan Mesir dan Syam, Saladin (wafat 1193), pada 1187.[212][Y] Pada 1203, Perang Salib Keempat beralih sasaran dari Tanah Suci ke Konstantinopel. Kota Konstantinopel direbut pada 1204 oleh bala Tentara Salib yang mendirikan Kekaisaran Latin Konstantinopel.[214] Peristiwa ini benar-benar melemahkan Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun berhasil merebut kembali Konstantinopel pada 1261, Kekaisaran Romawi Timur tidak sanggup lagi memulihkan kekuatannya seperti sediakala.[215] Pada 1291, semua negara Tentara Salib telah ditaklukkan atau disingkirkan dari daratan Timur Tengah, meskipun Kerajaan Yerusalem tituler masih bertahan hidup di Pulau Siprus sampai beberapa tahun kemudian.[216]
Para Paus menyerukan agar perang-perang Salib dikobarkan di tempat-tempat selain Tanah Suci, yakni di Spanyol, di kawasan selatan Prancis, dan di kawasan sekeliling Laut Baltik.[209] Perang Salib Spanyol menyatu dengan Perang Reconquista (penaklukan kembali) negeri Spanyol dari kekuasaan kaum Muslim. Meskipun Tarekat Kesatria Haikal dan Tarekat Kesatria Pramuhusada ikut serta dalam Perang Salib Spanyol, tarekat-tarekat militer religius asli Spanyol juga dibentuk, sebagian besar di antaranya telah bergabung membentuk dua tarekat besar, yakni Tarekat Kalatrava dan Tarekat Santiago, pada permulaan abad ke-12.[217] Kawasan utara Eropa juga masih berada di luar lingkup pengaruh agama Kristen sampai dengan abad ke-11 atau abad-abad sesudahnya, dan menjadi medan tempur Perang Salib Utara pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-14. Perang Salib ini juga menghasilkan pembentukan sebuah tarekat militer, yakni Tarekat Saudara-Saudara Pedang. Tarekat lainnya, yakni Tarekat Kesatria Teuton, dibentuk di negara-negara Tentara Salib, tetapi lebih banyak berkiprah di kawasan persekitaran Laut Baltik selepas tahun 1225, dan memindahkan markas besarnya ke Marienburg di Prusia pada 1309.[218]
Pada abad ke-11, perkembangan di bidang ilmu filsafat dan ilmu teologi menyebabkan kegiatan ilmiah meningkat. Penganut paham realisme dan penganut paham nominalisme memperdebatkan konsep "kesemestaan". Wacana-wacana filsafati disemarakkan oleh penemuan kembali gagasan-gagasan Aristoteles yang mengutamakan empirisme dan rasionalisme. Para cendekiawan seperti Petrus Abelardus (wafat 1142) dan Petrus Lombardus (wafat 1164) memperkenalkan logika ala Aristoteles ke dalam ilmu teologi. Pada penghujung abad ke-11 dan permulaan abad ke-12, sekolah-sekolah katedral marak bermunculan di seluruh kawasan barat Eropa, menandai beralihnya proses belajar-mengajar dari biara-biara ke katedral-katedral dan kota-kota.[219] Sekolah-sekolah katedral kemudian hari tergantikan oleh universitas-universitas yang didirikan di kota-kota besar Eropa.[220] Filsafat dan teologi melebur dan menyatu menjadi paham skolastisisme, yang merupakan ikhtiar para cendekiawan abad ke-12 dan ke-13 untuk merukunkan berbagai karya tulis yang dianggap berwibawa, terutama merukunkan gagasan-gagasan Aristoteles dengan Alkitab. Gerakan skolastisisme berusaha menerapkan pendekatan yang sistematis pada kebenaran dan akal budi.[221] Gerakan ini berpuncak pada gagasan-gagasan Tomas Aquinas (wafat 1274), penulis Summa Theologica (Ikhtisar Teologi).[222]
Kejatmikaan dan adab asmara bersusila berkembang di lingkungan istana dan kalangan bangsawan. Budaya keningrat-ningratan ini diungkapkan dengan menggunakan bahasa-bahasa rakyat, alih-alih menggunakan bahasa Latin, dalam bentuk puisi, hikayat, legenda, dan lagu-lagu populer yang disebarluaskan oleh para troubadour (penghibur keliling). Hikayat-hikayat ini sering kali ditulis dalam bentuk chansons de geste (kidung-kidung wiracarita) semisal Kidung Roland atau Kidung Hildebrand.[223] Karya-karya tulis sejarah sekuler maupun agamawi juga dihasilkan pada kurun waktu ini.[224] Galfridus Orang Fynwy (wafat sekitar 1155) menyusun Historia Regum Britanniae (Sejarah Raja-Raja Britania), sekumpulan hikayat dan legenda tentang Raja Arthur.[225] Karya-karya tulis lainnya lebih bersifat sejarah, misalnya Gesta Friderici Imperatoris (Hikayat Kaisar Friedrich) karya Otto dari Freising (wafat 1158) yang berisi penjabaran terperinci mengenai sepak terjang Kaisar Friedrich Barbarossa, ataupun Gesta Regum (Hikayat Raja-Raja) karya William dari Malmesbury (wafat sekitar 1143) yang memuat riwayat raja-raja Inggris.[224]
Kajian-kajian di bidang hukum mengalami kemajuan pada ke-12. Hukum sekuler maupun hukum kanon (hukum Gereja) dipelajari pada Puncak Abad Pertengahan. Hukum sekuler, atau hukum Romawi, mengalami kemajuan besar berkat penemuan Corpus Juris Civilis (Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) pada abad ke-11, dan pada tahun 1100, hukum Romawi sudah diajarkan di Bologna. Perkembangan ini bermuara pada pencatatan dan pembakuan kaidah-kaidah hukum di seluruh kawasan barat Eropa. Hukum kanon juga dipelajari, dan sekitar tahun 1140, seorang rahib bernama Grasianus (berkarya pada abad ke-12), yang berprofesi sebagai pengajar ilmu teologi di Bologna, menyusun kitab Decretum (Ketetapan), yang menjadi buku pedoman di bidang hukum kanon.[226]
Salah satu dampak dari pengaruh budaya Yunani dan Islam terhadap sejarah Eropa pada kurun waktu ini adalah penggantian angka Romawi dengan tata urutan angka desimal dan penciptaan ilmu aljabar, yang memungkinkan ilmu matematika menjadi lebih maju. Ilmu astronomi mengalami kemajuan setelah kitab Almagestum karya Ptolemaios diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin pada penghujung abad ke-12. Ilmu kedokteran juga mulai dipelajari, teristimewa di kawasan selatan Italia, tempat ilmu kedokteran Islam mempengaruhi sekolah kedokteran di Salerno.[227]
Dunia usaha dan ekonomi
Migrasi dan invasi pada abad ke-4 dan abad ke-5 mengganggu jaringan niaga di sekeliling Laut Tengah. Barang-barang dagangan dari Afrika, yang tak lagi memasuki Eropa, mula-mula menghilang dari pasaran di kawasan pedalaman Eropa, dan pada abad ke-7 hanya dapat dijumpai di segelintir kota seperti Roma atau Napoli. Pada penghujung abad ke-7, sebagai akibat dari aksi-aksi penaklukan kaum Muslim, barang-barang dagangan dari Afrika tidak dapat lagi dijumpai di Eropa Barat. Penggantian barang-barang dagangan dari negeri-negeri seberang dengan barang-barang buatan negeri sendiri menjadi lazim terjadi di seluruh negeri bekas jajahan Romawi pada Awal Abad Pertengahan, terutama di negeri-negeri yang tidak terletak di pesisir Laut Tengah, misalnya kawasan utara Galia atau Britania. Barang-barang buatan luar negeri yang disebut-sebut dalam peninggalan-peninggalan tertulis biasanya adalah barang-barang mewah. Di kawasan utara benua Eropa, tidak saja jaringan niaganya yang bersifat lokal, malah barang-barang yang diperjualbelikan pun sederhana, hanya ada sedikit tembikar atau barang-barang lain yang rumit pembuatannya. Di kawasan pesisir Laut Tengah, tembikar masih mudah didapatkan dan tampaknya diperjualbelikan dalam jaringan-jaringan niaga taraf menengah, tidak sekadar dibuat sendiri di dalam negeri.[83]
Semua negara Jermanik di Eropa Barat mengeluarkan uang logam sendiri dengan meniru bentuk uang-uang logam Romawi dan Romawi Timur yang beredar kala itu. Uang emas terus-menerus dicetak sampai akhirnya tergantikan oleh uang-uang perak pada penghujung abad ke-7. Satuan dasar uang perak Franka adalah Denarius atau Denier, sementara satuan dasar uang perak Saksen-Inggris yang setara Denier disebut Penny. Dari wilayah-wilayah inilah Denier atau Penny beredar ke seluruh Eropa selama berabad-abad, sejak 700 sampai 1000 Masehi. Uang tembaga dan perunggu tidak dicetak, demikian pula uang emas, kecuali di kawasan selatan Eropa. Tidak ada pencetakan uang perak dalam pecahan-pecahan yang lebih besar daripada Denier atau Penny.[84]
Agama Kristen adalah faktor utama yang mempersatukan Eropa Timur dan Eropa Barat sebelum penaklukan-penaklukan yang dilakukan orang Arab, tetapi penaklukan Afrika Utara meretas hubungan yang terjalin antara kedua kawasan itu. Gereja Romawi Timur semakin lama semakin berbeda dari Gereja Barat dalam bidang bahasa, adat istiadat, maupun liturgi. Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani, bukan bahasa Latin seperti Gereja Barat. Perbedaan-perbedaan teologi dan politik pun mengemuka, dan pada permulaan serta pertengahan abad ke-8, perkara-perkara seperti ikonoklasme, rohaniwan beristri, dan kendali negara atas Gereja semakin memperlebar kesenjangan sehingga pada akhirnya perbedaan-perbedaan budaya dan keagamaan menjadi jauh lebih besar daripada persamaan-persamaannya.[85] Perpecahan resmi, yang disebut Skisma Timur-Barat, terjadi pada 1054, manakala lembaga kepausan dan kebatrikan Konstantinopel mempertentangkan supremasi Sri Paus dan akhirnya saling mengucilkan, sehingga memecah agama Kristen menjadi dua Gereja—pecahan barat menjadi Gereja Katolik Roma dan pecahan timur menjadi Gereja Ortodoks Timur.[86]
Tatanan kepengurusan Gereja di Kekaisaran Romawi nyaris tetap utuh di tengah-tengah pergerakan dan invasi yang melanda wilayah barat, akan tetapi lembaga kepausan tidak begitu dihargai, dan hanya segelintir uskup di wilayah barat yang menghormati Uskup Roma selaku pemimpin agama atau pemimpin politik. Banyak di antara para paus yang menjabat sebelum tahun 750 lebih memperhatikan urusan-urusan Kekaisaran Romawi Timur dan sengketa-sengketa teologi di wilayah timur. Register, atau arsip salinan surat-surat, yang ditulis oleh Paus Gregorius Agung (masa kepausan 590–604) masih lestari hingga sekarang, lebih dari 850 pucuk surat, sebagian besar di antaranya berkaitan dengan perkara-perkara di Italia atau Konstantinopel. Satu-satunya negeri di Eropa Barat yang tunduk pada wibawa lembaga kepausan adalah Britania, yakni negeri yang didatangi rombongan misionaris utusan Paus Gregorius pada 597 untuk mengajak orang-orang Saksen-Inggris memeluk agama Kristen.[87] Para misionaris Irlandia gencar berdakwah di Eropa Barat antara abad ke-5 dan abad ke-7, pertama-tama di Inggris dan Skotlandia, kemudian ke daratan Eropa. Di bawah pimpinan rahib-rahib seperti Kolumba (wafat 597) dan Kolumbanus (wafat 615), para misionaris Irlandia membangun biara-biara, mengajar dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani, serta menghasilkan karya-karya tulis sekuler maupun keagamaan.[88]
Pada Awal Abad Pertengahan, terjadi pertumbuhan monastisisme di Eropa Barat. Bentuk monastisisme dipengaruhi oleh tradisi-tradisi dan gagasan-gagasan yang berasal dari Bapa-Bapa Gurun di Mesir dan Suriah. Sebagian besar biara Eropa adalah jenis biara yang mengutamakan pendalaman rohani dalam kehidupan berguyub. Monastisisme semacam ini disebut senobitisme, dirintis oleh Pakomius (wafat 348) pada abad ke-4. Cita-cita mulia monastisisme menyebar dari Mesir ke Eropa Barat pada abad ke-5 dan abad ke-6 melalui sastra hagiografi semisal Riwayat Antonius (bahasa Latin: Vita Antonii).[89] Benediktus dari Nursia (wafat 547) menyusun Peraturan Benediktus (bahasa Latin: Regulae Benedicti) bagi monastisisme Gereja Barat pada abad ke-6. Peraturan ini berisi perincian kewajiban administratif dan rohani yang harus dilaksanakan oleh suatu paguyuban para rahib yang dipimpin oleh seorang abas.[90] Para rahib dan biara-biara sangat mempengaruhi kehidupan beragama dan perpolitikan pada Awal Abad Pertengahan. Biara-biara sering kali menjadi lembaga-lembaga perwalian pemilik tanah bagi keluarga-keluarga yang memiliki kekuasaan besar, menjadi pusat-pusat propaganda dan dukungan bagi kerajaan di wilayah yang baru direbut, dan menjadi pangkalan-pangkalan bagi misi dakwah dan penyebaran agama Kristen.[91] Biara-biara merupakan lembaga utama, bahkan adakalanya merupakan satu-satunya lembaga, yang menyelenggarakan pendidikan dan pemberantasan buta aksara di suatu kawasan. Banyak dari naskah Latin klasik yang sintas sampai sekarang adalah naskah-naskah salinan yang dibuat di biara-biara pada Awal Abad Pertengahan.[92] Para rahib juga menghasilkan karya-karya tulis baru di bidang sejarah, teologi, dan bidang-bidang lain, misalnya Beda (wafat 735), pujangga asal kawasan utara Inggris yang berkarya pada penghujung abad ke-7 dan permulaan abad ke-8.[93]